SUKABUMI — Keluarga almarhumah Dini Sera Afrianti, perempuan muda asal Kampung Gunungguruh Girang, Desa Babakan, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, kembali diselimuti rasa kecewa dan luka mendalam. Harapan akan keadilan yang telah mereka perjuangkan selama hampir dua tahun kembali terguncang setelah Gregorius Ronald Tannur, pelaku penganiayaan terhadap Dini, tercatat sebagai salah satu penerima remisi kemerdekaan pada 17 Agustus 2025.
Ronald sebelumnya sempat divonis bebas oleh majelis hakim, sebelum Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut dan menjatuhkan hukuman lima tahun penjara. Kasus ini sempat menjadi sorotan publik setelah terungkap bahwa tiga hakim yang memvonis bebas terbukti menerima suap.
“Sudah hampir dua tahun saya menunggu keadilan, tapi sangat sulit karena kami keluarga tidak mampu. Saya bukan hanya kecewa pada hukumnya, tapi pada negaranya,” ujar Alfika Rahma, adik kandung Dini, saat ditemui Senin (18/8).
Bagi keluarga korban, remisi yang diberikan kepada Ronald dianggap mencederai rasa keadilan dan mempertebal kesan bahwa hukum bisa dipengaruhi oleh uang dan kekuasaan.
“Nyawa kakak saya seolah tidak ada harganya. Ini sudah kedua kalinya dia diberi keringanan,” tambah Alfika.
Meski demikian, keluarga tetap mengapresiasi kerja keras tim kuasa hukum yang telah mendampingi mereka sejak awal proses hukum. Namun mereka menyadari bahwa perjuangan hukum di Indonesia tidak selalu berpihak pada korban, terutama jika berhadapan dengan kekuatan finansial.
Tragedi yang menimpa Dini terjadi pada malam 4 Oktober 2023 di area parkir sebuah tempat hiburan malam di Surabaya. Usai berkaraoke, Dini mengalami penganiayaan yang berujung pada kematian. Peristiwa itu masih membekas kuat di benak keluarga, terlebih dengan kabar remisi yang mereka anggap sebagai bentuk pengabaian terhadap penderitaan korban.
“Kami sudah tidak berharap banyak pada hukum. Yang bisa kami lakukan hanya terus mendoakan almarhumah, semoga tenang di sisi-Nya. Tapi sebagai warga negara, kami tetap merasa dikhianati,” tutup Alfika.(den/d)