SUKABUMI — Dugaan praktik mafia tanah kembali mencuat dalam polemik pengadaan lahan pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar di Kota Bandung. Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Sukabumi, Deden Achadiyat, mengaku menjadi korban dalam proses tersebut, yang menurutnya sarat konflik kepentingan dan manipulasi dokumen.
Deden menyebut memiliki tanah seluas 3 hektare di lokasi proyek, terdiri dari 19.670 meter persegi bersertifikat dan 8.893 meter persegi berstatus girik. Ia mengklaim tidak pernah menjual tanah tersebut secara sah dan lunas, namun pihak lain justru menerima ganti rugi dari pemerintah.
“Saya tidak pernah menandatangani akta jual beli resmi. Tapi justru orang lain yang diundang BPN untuk menerima pembayaran dari Pemprov,” ujar Deden, Senin (18/8).
Menurutnya, transaksi dilakukan melalui surat kuasa yang diberikan keponakannya, namun kemudian disalahgunakan oleh seorang perempuan berinisial Hj M. Dari total kesepakatan Rp42 miliar, Hj M disebut hanya membayar Rp10 miliar, namun tetap diakui sebagai penerima ganti rugi.
Deden menyoroti kejanggalan dalam proses pengadaan lahan, termasuk tidak adanya pemanggilan resmi dari BPN kepada dirinya sebagai pemilik sah. Ia juga mengungkap bahwa surat kuasa yang digunakan dalam transaksi telah gugur secara hukum karena pemberi kuasa meninggal pada 2013, sementara perjanjian dibuat pada 2016.
“Ini cacat hukum. Negara seharusnya membayar kepada pemilik sah, bukan kepada pihak yang belum menyelesaikan kewajiban,” tegasnya.
Deden telah mengirimkan surat pengaduan kepada Gubernur Jawa Barat saat itu, Ridwan Kamil, serta melaporkan kasus ini ke BPK, Inspektorat, dan Polrestabes Bandung. Ia juga berencana menggugat secara kelembagaan dan mengirim surat ke DPRD Jabar serta Gubernur Kang Dedi Mulyadi.
Kuasa hukum Deden, M.Z. Al-Faqih, menyatakan tengah menyiapkan langkah hukum menyeluruh, termasuk gugatan perdata dan pelaporan indikasi korupsi.
“Pembayaran uang negara harus dilakukan berdasarkan dokumen kepemilikan yang sah. Lemahnya pengawasan dalam pembebasan lahan ini sangat disayangkan,” ujarnya.
Deden berharap kasus ini menjadi pelajaran penting bagi tata kelola aset negara dan perlindungan hak kepemilikan warga.
“Saya mencari keadilan dan kejelasan hukum. Ini bukan hanya soal tanah, tapi soal kredibilitas institusi,” tutupnya. (why/*/rb)