PONTIANAK – Sungai Sambas, yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi warga Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, kini berubah menjadi ancaman. Air yang dulunya jernih kini keruh berwarna kuning pekat, diduga tercemar akibat aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah hulu, tepatnya di Kecamatan Ledo, Kabupaten Bengkayang.
Sejak awal Juni 2025, warga mulai merasakan dampak pencemaran. Air sungai tidak lagi layak dikonsumsi, digunakan untuk mandi, mencuci, bahkan memasak. Bau logam tercium, dan kasus iritasi kulit serta gangguan pencernaan mulai merebak di 12 desa yang bergantung pada aliran Sungai Sambas.
Gerakan warga pun menguat. Laporan demi laporan disampaikan ke DPRD Sambas, Gubernur Kalimantan Barat, hingga Polda Kalbar. Pada 25 Agustus 2025, perwakilan dari 12 desa resmi melaporkan dugaan pencemaran ke Polda Kalbar, menuntut penghentian aktivitas PETI dan investigasi lingkungan menyeluruh.
Meski sejumlah pertemuan telah digelar, termasuk dengan Dinas LHK Provinsi dan Pemkab Bengkayang, belum ada tindakan konkret. Pemerintah daerah telah mengambil sampel air dan mengirimkannya ke laboratorium, namun hasil uji belum keluar hingga kini.
Dampak pencemaran tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memukul ekonomi warga. Biaya hidup meningkat karena harus membeli air bersih, sementara tradisi hidup di bantaran sungai perlahan menghilang.